Selasa, 23 November 2010

Penjas, Sebuah Tantangan

Salah satu ancaman era global saat ini adalah gaya hidup diam atau kurang gerak plus pola konsumsi yang tidak sehat. Dampaknya, bermunculan penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner, kencing manis (DM), dan tekanan darah tinggi. Menurut WHO, penderita DM pada 2000 tercatat 8,4 juta jiwa dan diperkirakan menjadi 21,3 juta jiwa pada 2030 (Jawa Pos 25/11/08).

Gaya hidup kurang gerak pada anak di sekolah terkait erat dengan peran pendidikan jasmani (penjas). Sebab, penjas merupakan bagian dari pendidikan umum yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh.

Disebut menyeluruh karena yang ingin dicapai melalui penyediaan pengalaman gerak pada siswa bukan hanya perkembangan fisik (kebugaran jasmani dan keterampilan gerak dasar). Perkembangan intelektual (kemampuan memecahkan masalah) juga jadi target. Demikian pula perkembangan emosional (konsep diri positif) dan sosial (kemampuan kerja sama). Bahkan, target penjas bermuara pada peningkatan kualitas hidup melalui pencapaian derajat kesehatan yang lebih baik (Rusli Lutan, 2002).

Terpinggirkannya status penjas di sekolah dipengaruhi persepsi yang berbeda di antara pembuat kebijakan, warga (orang tua), kalangan pendidikan itu sendiri, serta pemangku profesi bidang pendidikan dan olahraga. Ketika nilai material kian menonjol, kemampuan untuk memperoleh materi itu menjadi tujuan utama. Akibatnya, prestasi akademik menjadi fokus. Penjas, di sisi lain, dianggap tidak punya kandungan akademik dan terpinggirkan.

Anggapan bahwa penjas tak punya nilai akademik tersebut banyak dipengaruhi proses penyelenggaraan penjas yang kurang mampu membangkitkan proses ajar. Yakni, hanya menyentuh domain psikomotor, sedangkan dimensi kepribadian dan watak jauh dari memadai, bahkan terlalaikan. Itu berkaitan dengan keterbatasan dan rendahnya standar kompetensi guru penjas, terutama di jenjang sekolah dasar.

Itu masih ditambah sistem penilaian kinerja guru dalam rangka kenaikan pangkat yang tidak dilakukan oleh orang yang mampu di bidangnya. Akibatnya, guru tidak terpacu untuk terus mengembangkan karir profesionalnya. Guru penjas umumnya pasif dalam mengantisipasi pengembangan profesinya, juga kekurangan dukungan dari kepala sekolah dan guru bidang studi lain. Itu belum termasuk problem keterbatasan waktu serta minimnya fasilitas olahraga dan perlengkapan untuk melaksanakan kurikulum yang ada.

Program penjas yang bermutu tidak selalu ditampilkan dalam bentuk kegiatan olahraga yang menekankan keterampilan. Olahraga merupakan salah satu aktivitas jasmani yang dapat dijadikan sebagai media dalam proses ajar. Penjas dapat memanfaatkan media aktivitas kesegaran jasmani, aktivitas permainan, aktivitas sosial, aktivitas petualangan, olahraga rekreasi, gerak dasar, dan lain-lain.

Untuk itu, guru penjas dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam proses belajar mengajar. Dengan begitu, kebugaran jasmani siswa meningkat dan bertahan dalam status baik, pertumbuhan fisik dan psikis siswa optimal, serta kemampuan dan keterampilan gerak siswa meningkat. Karakter moral siswa juga makin kuat (olahragawan sejati). Sikap-sikap baik makin menonjol (sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, dapat bekerja sama, percaya diri, dan demokratis). Bahkan, siswa mampu menjaga keselamatan diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Juga terbentuk pola hidup sehat dan cukup gerak (bersih, pro kesehatan, sehari bergerak minimal 10 ribu langkah).

Karena itu, dibutuhkan koordinasi dan kerja sama di antara semua pihak (guru, orang tua, sekolah, tokoh masyarakat, pengurus klub olahraga, dan media massa). Dengan demikian, terbangun sinergi yang menjamin terselenggaranya penjas bermutu bagi semua peserta didik. (soe)

Sumber:
http://www.klubguru.com/2-view.php?subaction=showfull&id=1236248159&archive=&start_from=&ucat=2&do=artikel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar